From: Jeffry Yoris <jyoris@balicamp.com>
Dari milis sebelah:
-------------------------------
Buruh Kita di Perusahaan Jepang
11 October 2008
http://berbual.com
Menjadi pimpinan sebuah perusahaan manufaktur Jepang memberi saya
kesempatan untuk berkunjung ke berbagai perusahaan lain, umumnya
perusahaan Jepang juga. Dalam setiap kesempatan kunjungan, selalu ada
hal menarik untuk diperhatikan dalam berbagai sudut pandang, di
antaranya dari sisi manajemen sumber daya manusia. Salah satu yang
menarik buat saya adalah interaksi antara ekspatriat Jepang dengan
pekerja (buruh) lokal.
Cerita yang cukup banyak muncul adalah tentang bagaimana pekerja kita
melakukan berbagai trick untuk menghindari beban kerja. Di sebuah
perusahaan plastic molding injection misalnya, pekerja pada shift
malam memperpendek cycle time mesin, sehingga mereka bisa mencapai
target (kuantitas) produksi dapat dipenuhi sebelum waktu shift mereka
selesai. Sisa waktu yang diperoleh dari pemendekan itu digunakan oleh
pekerja untuk tidur. Tentu saja kualitas produk akan menurun. Para
pekerja itu cukup "cerdik", mereka menyembunyikan produk yang
tidak
memenuhi standar mutu di bagian bawah pada saat pengepakan.
Cerita lain adalah soal cuti haid. Mayoritas pekerja wanita mengambil
cuti haid satu sampai dua hari dalam sebulan. Jumlah hari cuti ini
rata-rata lebih banyak dari jumlah hari cuti tahunan. Uniknya cuti
itu
kebanyakan diambil pada awal pekan (Senin), atau menjelang akhir
pekan
(Jumat). Tentu sulit untuk memastikan apa benar karyawan tersebut
sedang haid pada hari itu. Lucunya ada karyawan yang mengambil cuti
melahirkan, padahal sampai bulan sebelumnya dia masih rutin mengambil
cuti haid.
Yang lebih sulit bagi orang Jepang adalah masalah yang bersinggungan
dengan agama, karena sensitif. Sering ditemukan karyawan berpura-pura
pergi shalat, kemudian berlama-lama di mushalla untuk mengulur waktu
agar bisa beristirahat. Ketidakpahaman mereka terhadap soal-soal
agama
membuat mereka sulit bersikap tegas dalam kasus-kasus seperti ini.
Tentu tidak semua buruh kita berperi laku demikian. Namun bagi orang-
orang Jepang, kelakuan seperti itu adalah sesuatu yang tak pernah
terpikirkan akan terjadi di tempat asal mereka. Buruh di Jepang
dikenal berdisiplin tinggi. Mereka menganggap pekerjaan yang
diamanahkan sebagai tanggung jawab (sekinin) yang harus ditunaikan
dengan sebaik-baiknya (shikkari), dan kegagalan menunaikan tanggung
jawab itu menimbulkan gangguan pada pekerjaan orang lain (meiwaku).
Itulah antara lain basis moral yang membentuk disiplin mereka.
Lebih menarik lagi adalah bagaimana ekspatriat Jepang itu bersikap
atas kejadian-kejadian yang merupakan culture shock tersebut.
Sebagian
ekspatriat yang saya temui menghabiskan waktunya dengan mengeluh,
mencela, dan tak jarang mencaci maki peri laku buruh kita tersebut.
Perilaku ekspatriat ini kemudian tergambar pada kacaunya manajemen
perusahaan. Berbagai pihak sibuk saling tunding, saling menyalahkan
atas setiap masalah yang muncul, bukan mencari solusi.
Beberapa ekspatriat lain berusaha memahami masalah, mencari akar
persoalannya, khususnya dengan mengenal budaya dan kebiasaan
masyarakat setempat. Dari situ dibuatlah peraturan-peraturan yang
mampu mengantisipasi peri laku tidak disiplin tersebut. Prinsipnya,
apa yang berhasil diterapkan dengan baik di Jepang tidak otomatis
akan
berhasil dengan baik pula di Indonesia, (suatu hal yang mungkin
diharapkan oleh Jepang-jepang tukang keluh seperti yang saya jelaskan
di atas) karena budaya dan kebiasaan masyarakatnya yang berbeda.
Contoh menarik adalah soal pengelolaan perkakas untuk maintenance
mesin. Di pabrik-pabrik di Jepang perkakas ditempatkan di suatu
tempat
yang mudah diakses semua orang yang memerlukan. Bila selesai
digunakan
alat akan dikembalikan ke tempat semula. Ini adalah prinsip seiri-
seiton. Di Indonesia, begitu cerita ekspatriat yang saya temui, hal
itu tidak bias diterapkan. Pengguna tidak mengembalikan perkakas
sebagaimana mestinya setelah selesai bekerja. Perkakas sering rusak
atau bahkan hilang, dan sulit untuk dicari siapa yang bertanggung
jawab atas kerusakan/kehilanga n itu. Untuk mengatasinya dia
menyerahkan satu set perkakas kepada untuk setiap kelompok, dan
menunjuk penanggung jawab pengelolaan perkakas tersebut. Cara ini
berhasil. Tanggung jawab pengelolaan perkakas yang tadinya merupakan
tanggung jawab kolektif diubah menjadi tanggung jawab personal, yang
diberi tanggung jawab jadi lebih berhati-hati menjaga amanah yang
dibebankan kepadanya.
Dalam berbagai forum yang melibatkan orang Indonesia dan Jepang saya
selalu mengingatkan pentingnya saling pengertian dalam soal budaya
dan
kebiasaan antara ekspatriat Jepang dengan pekerja lokal. Tentu saya
tidak berharap agar orang-orang Jepang itu mengerti dalam arti
memaklumi kemudian menolerir kebiasaan-kebiasaan pekerja kita yang
tidak cocok dengan sistem manajemen mereka. Yang saya harapkan adalah
munculnya solusi kreatif seperti saya contohkan di atas.
Hal lain yang juga pernah kami diskusikan adalah soal upah, attitude,
dan produktivitas. Regulasi pemerintah mengenai upah minimum sekarang
sudah jauh lebih ketat dibandingkan sepuluh tahun yang lalu,
khususnya
terhadap perusahaan asing. Akibatnya, seperti yang sering dikeluhkan
oleh para pebisnis asing, produk kita kehilangan daya saing di pasar
internasional.
Saya tidak akan mengamini keluhan investor soal daya saing itu. Itu
memang sangat bisa diperdebatkan. Boleh jadi itu cuma dalih mereka
untuk mengeruk keuntungan yang lebih besar. Masalahnya, investor
dengan kekuatan modal mereka punya berbagai alternatif dalam mengejar
keuntungan. Bila tekanan untuk menaikkan upah buruh demikian tinggi
sehingga melampaui kalkulasi ekonomis, mereka punya alternatif
menyulih tenaga manusia dengan mesin melalui otomatisasi. Dalam
jangka
pendek pilihan ini membutuhkan tambahan investasi yang besar. Tapi
dalam jangka panjang ini bias menguntungkan, khususnya bila tingkat
kenaikan upah buruh sekitar 10% seperti sekarang ini. Bila banyak
perusahaan melakukan hal ini, maka otomatis akan terjadi penurunan
daya serap tenaga kerja sehingga angka pengangguran akan meningkat.
Saya melihat perlunya keseimbangan antara tuntutan menaikkan upah
buruh dengan perbaikan attitude serta peningkatan produktivitas.
Logika yang berbaik sangka pada kapitalisme akan mengatakan, bila
produktivitas buruh naik, keuntungan perusahaan akan meningkat,
otomatis kesejahteraan buruh akan diperbaiki. Yang tidak percaya pada
logika itu setidaknya bisa berfikir bahwa perbaikan attitude dan
peningkatan produktivitas akan menghidarkan penyulihan buruh dengan
mesin.
Sudahkah hal ini difikirkan oleh organisasi buruh? Apakah
memperjuangkan nasib buruh harus selalu bermakna melakukan gerakan
politik menekan pemerintah dan penguasaha semata, tanpa pernah peduli
dengan kualitas kerja mereka?
Mohon bantuannya untuk mengisi survei daya saing Indonesia di
http://www.ips.or.kr/site/IPS/mail/survey/20110120/26.html
*****************************************************************
Indonesian Production and Operations Management Society (IPOMS).
http://blog.ipoms.web.id/
Bergabunglah dengan IPOMS di Facebook
http://www.facebook.com/home.php?ref=home#/group.php?gid=34994473375
********************************************************************
No comments:
Post a Comment