Thursday, April 14, 2011

IPOMS-APICS Fwd: Buruh Kita di Perusahaan Jepang

 

From: Jeffry Yoris <jyoris@balicamp.com>

Dari milis sebelah:
-------------------------------
Buruh Kita di Perusahaan Jepang

11 October 2008

http://berbual.com

Menjadi pimpinan sebuah perusahaan manufaktur Jepang memberi saya

kesempatan untuk berkunjung ke berbagai perusahaan lain, umumnya

perusahaan Jepang juga. Dalam setiap kesempatan kunjungan, selalu ada

hal menarik untuk diperhatikan dalam berbagai sudut pandang, di

antaranya dari sisi manajemen sumber daya manusia. Salah satu yang

menarik buat saya adalah interaksi antara ekspatriat Jepang dengan

pekerja (buruh) lokal.

Cerita yang cukup banyak muncul adalah tentang bagaimana pekerja kita

melakukan berbagai trick untuk menghindari beban kerja. Di sebuah

perusahaan plastic molding injection misalnya, pekerja pada shift

malam memperpendek cycle time mesin, sehingga mereka bisa mencapai

target (kuantitas) produksi dapat dipenuhi sebelum waktu shift mereka

selesai. Sisa waktu yang diperoleh dari pemendekan itu digunakan oleh

pekerja untuk tidur. Tentu saja kualitas produk akan menurun. Para

pekerja itu cukup "cerdik", mereka menyembunyikan produk yang
tidak

memenuhi standar mutu di bagian bawah pada saat pengepakan.

Cerita lain adalah soal cuti haid. Mayoritas pekerja wanita mengambil

cuti haid satu sampai dua hari dalam sebulan. Jumlah hari cuti ini

rata-rata lebih banyak dari jumlah hari cuti tahunan. Uniknya cuti
itu

kebanyakan diambil pada awal pekan (Senin), atau menjelang akhir
pekan

(Jumat). Tentu sulit untuk memastikan apa benar karyawan tersebut

sedang haid pada hari itu. Lucunya ada karyawan yang mengambil cuti

melahirkan, padahal sampai bulan sebelumnya dia masih rutin mengambil

cuti haid.

Yang lebih sulit bagi orang Jepang adalah masalah yang bersinggungan

dengan agama, karena sensitif. Sering ditemukan karyawan berpura-pura

pergi shalat, kemudian berlama-lama di mushalla untuk mengulur waktu

agar bisa beristirahat. Ketidakpahaman mereka terhadap soal-soal
agama

membuat mereka sulit bersikap tegas dalam kasus-kasus seperti ini.

Tentu tidak semua buruh kita berperi laku demikian. Namun bagi orang-

orang Jepang, kelakuan seperti itu adalah sesuatu yang tak pernah

terpikirkan akan terjadi di tempat asal mereka. Buruh di Jepang

dikenal berdisiplin tinggi. Mereka menganggap pekerjaan yang

diamanahkan sebagai tanggung jawab (sekinin) yang harus ditunaikan

dengan sebaik-baiknya (shikkari), dan kegagalan menunaikan tanggung

jawab itu menimbulkan gangguan pada pekerjaan orang lain (meiwaku).

Itulah antara lain basis moral yang membentuk disiplin mereka.

Lebih menarik lagi adalah bagaimana ekspatriat Jepang itu bersikap

atas kejadian-kejadian yang merupakan culture shock tersebut.
Sebagian

ekspatriat yang saya temui menghabiskan waktunya dengan mengeluh,

mencela, dan tak jarang mencaci maki peri laku buruh kita tersebut.

Perilaku ekspatriat ini kemudian tergambar pada kacaunya manajemen

perusahaan. Berbagai pihak sibuk saling tunding, saling menyalahkan

atas setiap masalah yang muncul, bukan mencari solusi.

Beberapa ekspatriat lain berusaha memahami masalah, mencari akar

persoalannya, khususnya dengan mengenal budaya dan kebiasaan

masyarakat setempat. Dari situ dibuatlah peraturan-peraturan yang

mampu mengantisipasi peri laku tidak disiplin tersebut. Prinsipnya,

apa yang berhasil diterapkan dengan baik di Jepang tidak otomatis
akan

berhasil dengan baik pula di Indonesia, (suatu hal yang mungkin

diharapkan oleh Jepang-jepang tukang keluh seperti yang saya jelaskan

di atas) karena budaya dan kebiasaan masyarakatnya yang berbeda.

Contoh menarik adalah soal pengelolaan perkakas untuk maintenance

mesin. Di pabrik-pabrik di Jepang perkakas ditempatkan di suatu
tempat

yang mudah diakses semua orang yang memerlukan. Bila selesai
digunakan

alat akan dikembalikan ke tempat semula. Ini adalah prinsip seiri-

seiton. Di Indonesia, begitu cerita ekspatriat yang saya temui, hal

itu tidak bias diterapkan. Pengguna tidak mengembalikan perkakas

sebagaimana mestinya setelah selesai bekerja. Perkakas sering rusak

atau bahkan hilang, dan sulit untuk dicari siapa yang bertanggung

jawab atas kerusakan/kehilanga n itu. Untuk mengatasinya dia

menyerahkan satu set perkakas kepada untuk setiap kelompok, dan

menunjuk penanggung jawab pengelolaan perkakas tersebut. Cara ini

berhasil. Tanggung jawab pengelolaan perkakas yang tadinya merupakan

tanggung jawab kolektif diubah menjadi tanggung jawab personal, yang

diberi tanggung jawab jadi lebih berhati-hati menjaga amanah yang

dibebankan kepadanya.

Dalam berbagai forum yang melibatkan orang Indonesia dan Jepang saya

selalu mengingatkan pentingnya saling pengertian dalam soal budaya
dan

kebiasaan antara ekspatriat Jepang dengan pekerja lokal. Tentu saya

tidak berharap agar orang-orang Jepang itu mengerti dalam arti

memaklumi kemudian menolerir kebiasaan-kebiasaan pekerja kita yang

tidak cocok dengan sistem manajemen mereka. Yang saya harapkan adalah

munculnya solusi kreatif seperti saya contohkan di atas.

Hal lain yang juga pernah kami diskusikan adalah soal upah, attitude,

dan produktivitas. Regulasi pemerintah mengenai upah minimum sekarang

sudah jauh lebih ketat dibandingkan sepuluh tahun yang lalu,
khususnya

terhadap perusahaan asing. Akibatnya, seperti yang sering dikeluhkan

oleh para pebisnis asing, produk kita kehilangan daya saing di pasar

internasional.

Saya tidak akan mengamini keluhan investor soal daya saing itu. Itu

memang sangat bisa diperdebatkan. Boleh jadi itu cuma dalih mereka

untuk mengeruk keuntungan yang lebih besar. Masalahnya, investor

dengan kekuatan modal mereka punya berbagai alternatif dalam mengejar

keuntungan. Bila tekanan untuk menaikkan upah buruh demikian tinggi

sehingga melampaui kalkulasi ekonomis, mereka punya alternatif

menyulih tenaga manusia dengan mesin melalui otomatisasi. Dalam
jangka

pendek pilihan ini membutuhkan tambahan investasi yang besar. Tapi

dalam jangka panjang ini bias menguntungkan, khususnya bila tingkat

kenaikan upah buruh sekitar 10% seperti sekarang ini. Bila banyak

perusahaan melakukan hal ini, maka otomatis akan terjadi penurunan

daya serap tenaga kerja sehingga angka pengangguran akan meningkat.

Saya melihat perlunya keseimbangan antara tuntutan menaikkan upah

buruh dengan perbaikan attitude serta peningkatan produktivitas.

Logika yang berbaik sangka pada kapitalisme akan mengatakan, bila

produktivitas buruh naik, keuntungan perusahaan akan meningkat,

otomatis kesejahteraan buruh akan diperbaiki. Yang tidak percaya pada

logika itu setidaknya bisa berfikir bahwa perbaikan attitude dan

peningkatan produktivitas akan menghidarkan penyulihan buruh dengan

mesin.

Sudahkah hal ini difikirkan oleh organisasi buruh? Apakah

memperjuangkan nasib buruh harus selalu bermakna melakukan gerakan

politik menekan pemerintah dan penguasaha semata, tanpa pernah peduli

dengan kualitas kerja mereka?

__._,_.___
Recent Activity:
*************************************************************

Mohon bantuannya untuk mengisi survei daya saing Indonesia di

http://www.ips.or.kr/site/IPS/mail/survey/20110120/26.html

*****************************************************************

Indonesian Production and  Operations Management Society (IPOMS).

http://blog.ipoms.web.id/

Bergabunglah dengan IPOMS di Facebook

http://www.facebook.com/home.php?ref=home#/group.php?gid=34994473375


********************************************************************
.

__,_._,___

No comments: